Masjid Tiban, saksi sejarah penyebaran
Islam di Pacitan
Sejarah
Pacitan tak pernah lepas dari sejarah
perkembangan Islam. Berbagai macam
bukti yang menunjukkan betapa hubungan
Islam dan Pacitan dalam konteks sejarah
begitu erat. Banyak bangunan peninggalan
sejarah penyebaran agama Islam di negeri
ini yang dipercaya keramat.
Salah satu bukti itu adalah adanya sebuah
Masjid di Ngadirojo. Namanya adalah Masjid
Tiban.
Letak masjid ini di Desa
Tanjungpuro, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan Jawa Timur, adalah bukti perkembangan Islam
di tanah 1001 goa. Meski tidak ada catatan
sejarah sebagai rujukan, namun berdasar
cerita turun temurun masjid yang kini
bernama Nurul Huda tersebut merupakan
peninggalan Sunan Geseng.
proses ditemukannya Masjid Tiban ini tidak
lepas dari peran sesepuh setempat
bernama Mbah Bandung. Tokoh tersebut
yang menemukan masjid di tengah rawa,
lalu menyebutnya dengan Masjid Tiban.
Tampilan Masjid Tiban dari luar tak
ubahnya seperti masjid lain. Bangunan
dengan panjang 20 meter dan lebar
delapan meter itu sepenuhnya bercorak
modern. Baik lantai, tembok maupun
atapnya semua menampilkan citra masa
kini. Masjid yang berada di tengah
pemukiman tersebut sudah tiga kali
direnovasi, yaitu pada 1976, 1986 dan
1998.
Namun, satu bagian yang tak pernah
berubah adalah sisi tengah masjid.
Bangunan utama berbentuk joglo yang
ditopang empat pilar itu hingga saat ini
dibiarkan seperti sedia kala. Tiang kayu
yang menyisakan bekas tatahan kasar,
tetap berdiri tegak tanpa dihaluskan.
Demikian pula dengan kayu berukir yang
melintang diatasnya, keduanya hanya
dipoles cat warna coklat.
Masjid ini dipercaya sebagai masjid “tiban”.
“Tiban” berarti jatuh atau ada secara tiba-
tiba dan diyakini keramat. Nur Halim,
pemangku masjid setempat, menceritakan
asal-usul masjid ini cukup misterius. Adalah
Ki Ageng Bandung, orang kepercayaan
Adipati Ponorogo, yang pertama kali
menemukan bangunan cikal bakal masjid
tersebut. Ki Ageng Bandung merupakan
salah satu orang kepercayaan kerajaan
yang membabat wilayah setempat yang
waktu itu masih berupa hutan pada 1700-
an hingga 1800-an.
Suatu hari Ki Ageng Bandung menjelajahi
hutan di dekat Dusun Bandung. Baru
sekitar tiga langkah berjalan, ia mendengar
suara burung. Karena penasaran, dia
mengikuti asal suara burung tersebut
dengan menggunakan gethek atau alat
untuk menyeberang yang terbuat dari
bambu dengan menyusuri rawa hutan.
Akhirnya burung tersebut terlihat
bertengger di dahan pohon tanjung
kembar. Tepat di sebelah pohon tanjung
kembar itu terdapat dua bangunan. Satu
bangunan berbentuk rumah joglo dan satu
bangunan lain adalah sebuah masjid kecil
yang terbuat dari batu bata beratap ilalang.
Setelah masuk ke bangunan masjid yang
sudah lama tidak terawat itu, dia
menemukan selembar surat berbahasa
Jawa kuno. Setelah dibaca, surat tersebut
ditulis seseorang yang menamakan diri
Sunan Geseng.
Isi surat berbunyi “Manawa alas iki wis
babad sarta wis dadi desa reja, pandhapa
iki dak cadangkake sapa kang dadi lurah.
Lan masjid ing sakidul kulone iki dienggo
panggonan mulang santri. Dene kang
agawe pandhapa lan masjid iki aku, Sunan
Geseng”.
Jika diartikan, surat tersebut menjelaskan
bahwa “Apabila hutan ini sudah dibabat
dan menjadi desa yang makmur, pendapa
ini aku ujukan untuk siapa yang akan
menjadi kepala desa. Masjid di sebelah
tenggara nanti digunakan untuk tempat
belajar para santri. Yang membangun
pendapa dan masjid aku, Sunan Geseng”.
Di bangunan itu juga ditemukan sebuah
kepek atau sejenis bungkusan kantong
kecil dari kain yang tergantung. Setelah
dibuka di dalamnya didapati jubah bergaris
poleng beserta surban dan baju lengan
panjang seperti baju koko untuk salat
berwarna putih berbahan kain tenunan
Jawa.
Sampai sekarang kepek dan peralatan
lainnya masih tersimpan dalam kotak kayu
yang dibungkus kain putih. Secara berkala,
kain pembungkus itu diganti. “Saya tidak
tahu apa isi kotak tersebut. Saya tidak
berani membukanya,” ungkap pria yang
akrab disapa Gus Nur ini.
Ki Ageng Bandung sendiri sebenarnya
bangsawan dari Padjajaran, Jawa Barat.
Konon, kepergiannya dari tanah Priangan
itu setelah kalah berebut kekuasaan
menjadi adipati dengan sang adik. Setelah
kalah dalam perang saudara, ia hijrah ke
wilayah Kerajaan Pajang, Jawa Tengah dan
sampai ke wilayah Ngadirojo, Pacitan
bersama salah satu muridnya, Panji
Sanjayarangin. Sebelumnya, dia mengabdi
di Adipati Ponorogo.
Sekilas tak ada yang menonjol dari masjid yang berada dekat perbatasan Pacitan dan Trenggalek ini. Dan juga tak ada tanda kapan masjid ini dibangun. Di perkirakan masjid ini di bangun sudah ratusan tahun yang lalu.
[Pacitanku.com]
Comment
All comments under post "''MASJID TIBAN (NURUL HUDA) PACITAN'' Muncul secara tiba-tiba, masjid ini jadi bukti sejarah penyebaran Islam di Pacitan. [Desa Tanjungpuro - Kecamatan Ngadirojo]"
Posting Terkait: